"Sama-sama. Sudah dulu, ya."
"Ya sudah kalau begitu. Kamu baik-baik ya."
"Iya, kamu juga."
"Baiklah."
"Baiklah."
"Kamu tahu kan kita tidak ada masa depan."
"Iya."
"Cukuplah masa lalu yang kita punya."
"Benar."
"Lalu, apalagi?"
"Tidak ada."
"Kamu bisa terima ini, 'kan?"
"Iya, bukan masalah buatku."
"Kamu terima semua ini?"
"Kamu terima semua ini?"
"Iya."
"Begitu saja?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Karena kalau aku menolak pun tidak mengubah apa-apa."
"Apa maksudmu tidak mengubah apa-apa?"
"Apa maksudmu tidak mengubah apa-apa?"
"Begini, kamu minta aku merelakanmu pergi, aku kabulkan maka aku rela kamu pergi. Kalau aku menolak, suatu saat keinginan itu kan muncul lagi, bukan mustahil, sesuatu yg.pernah ada, bisa ada lagi bukan? Lalu aku akan lelah mempertahankan, dan kita tetap akan berpisah. Lebih baik begini. Hemat waktu dan tenaga."
"Bagaimana dengan perasaan?"
"Kenapa memangnya?"
"Kamu tidak merasa kehilangan?"
"Lebih baik merasa kehilangan saat memang sudah hilang, daripada merasa memiliki padahal bukan miliknya. Bukan begitu?"
"Jadi, kita berpisah?"
"Lebih baik merasa kehilangan saat memang sudah hilang, daripada merasa memiliki padahal bukan miliknya. Bukan begitu?"
"Jadi, kita berpisah?"
"Persis seperti yang kamu inginkan."
"Kalau benar cinta, kamu tidak begitu saja setuju berpisah."
"Kalau benar cinta, kamu tidak begitu saja setuju berpisah."
"Kalau benar cinta, aku tidak akan membuatmu merasa ingin berpisah."
"Ya sudahlah. Capek ngomong sama kamu."
"Ya sudahlah. Capek ngomong sama kamu."
No comments:
Post a Comment